Sacred house inauguration (le masule)

Le masule is a ritual to ‘cleanse’ a newly built sacred house, called lee ia val, before it can be lived in or used as a sacred house.

Photo: A lee ia valu, in aledia Mauloho, Lospalos sub-district.

Lee ia valu are central to the identity of the Fataluku people, and the building of these houses has increased in recent years following Timor’s independence (le masule ceremonies were discouraged under the Indonesian government) with funding made available from the Timorese government. Finding materials to build houses was difficult, as those living in villages were not able to harvest timber from forests, and few had the financial ability to afford all aspects of the expensive ceremony. Since independence the building of lee ia val has increased, and with it the le masule ceremony. Aspects of the ceremony include vaihoho, orontafa, animal sacrifice, and other music and dance performances. The wood used is carved with animals and images symbolic of a tribes’ cultural identity.

A le masule ceremony usually takes between three to four days and nights but can last for as long as seven depending on the financial capacity of a lee ia valu house owner. A le masule ceremony begins by walking in procession to the lee ia valu. The guests arrive from surrounding areas. The le masule ceremony documented here is from aldeia Mauloho, suku Rasa, sub-district Lospalos. Women from surrounding villages and from the family of the lee ia valu wore matching red and black tais, with a blue floral over-blouse, play hand drums and gongs in the procession, to a simple and regular rhythm. Some women wear raisoko baskets on their backs, with the rope worn over their heads to bear the weight.

A first step of the ceremony is a log dragging ritual. Men old and young line up on either side of a length of rope attached to four timber logs. They drag the logs to the lee ia valu while singing vaihoho. The ceremony begins with ceremonious drinking of palm wine, and eating pieces of sacrificed meat. The meat and wine is then offered to the women. The kepala adat then announces the beginning of the ceremony, introducing a lively call and response vaihoho. The words ask permission of the wood to become part of a lee ia valu, literally asking the log to be light enough to be moved, singing: ‘don’t be heavy’. (Prior to having cut timber from a forest, permission is requested by the harvesters and an animal – usually a chicken – is sacrificed.)

Older men stand at the front of the line, dressed in elegant tais and white shirts. Young men at the back are bare chested, with black knee length material around their waists. They don’t wear long tais as they do most of the heavy work, so they need the freedom of full movement. The performers drag the log towards the house while singing vaihoho.

Video: Log dragging ritual as part of a le masule ceremony in aledia Mauloho, Lospalos sub-district.
 
Once at the house, women in their matching tais and blouses form a circle around the log playing in rhythm. Women then move to form a circle around the house. The kepala adat plays the keko to announce the ceremony beginning. The guests then begin to arrive. Guests are welcomed to the house by women performers.
 
Video: Guests welcomed in aledia Mauloho, Lospalos sub-district.
 
Video: Women's welcome performance to inaugrate a lee ia val.
 
Attendees at a le masule ceremony have their own social hierarchies or status: immediate family (tupur moko), extended family and in-laws (arahopata), and friends or work colleagues (lan). Offerings are brought in accordance with their status. Tupur moko have to bring a buffalo, or a horse or money (in that order of preference). If they are bringing money, it must be the equivalent of the price of a buffalo or horse. Arahopata guests are relations that must be respected, one respondent explained that these relationships are feared like gods, and must be obeyed. Arahopata must bring gifts of pigs and tais cloth. There is a specific ritual for exchanging these gifts. The tuan rumah, or house owner, facilitates this process.
 
Photo: Gifts brought to a le masule ceremony.
 
Photo: Men with offerings at a le masule ceremony.
 

Tents are erected for invitees, set out in arrangements according to a guest’s status (for example tupur moko have their own area). Once arrangements for sleeping are settled, guests are given instructions or a ceremony agenda for the event, which is put together by the tuan rumah.

The official inauguration is marked with a ritual of drawing down the ladder to the lee ia valu, which is performed by an arahopata relative (such as an uncle of the tuan rumah or respected elder blood family relation). Once the ladder is drawn to the ground, and tais is laid in front of the lee ia valu, and a bamboo flag planted at the front of the lee ia valu only then can it then be formally occupied.

Video: The ritual performed by an arahopata guest who must draw down the ladder to a lee ia valu and place tais in the front entrance.

The immediate family (tupur moko) then climb into the house using the ladder, and a ritual takes place inside. The man and woman of the house have a tais placed over their shoulders, men their right, women their left shoulders. This tais is symbolic, protecting them from danger and blessing them with fertility. They then drink palm wine together, one glass circulating the participants – drinking from the same glass in this way strengthens relations.

Video: An arahopata guest climbs inside the lee ia val to place tais over the arms of the tupur moko house owners inside, in a ritual to protect the tupur moko house residents from danger and bless them with fertility.

After the inauguration rituals the celebrations begin. A young coconut is opened, and the liquid is used to bless the people and place. A skull of an animal, a dog or a pig, is prepared, alongside the coconut and other offerings. Prayers are said, and offerings are laid out at night. Women perform throughout the night, playing music with the same simple rhythm. A buffalo or pig is sacrificed to eat. There are rules over who is allowed to eat animals that are brought as offerings – tupur moko guests are not allowed to eat the animals they bring as offerings, but others may (so long as they are not of tupur moko status).

The orontafa is performed, with passionate call and response vaihoho singing. At points in the singing of the Fataluku the rise and fall of the pounding sticks is in unison, and other times sticks fall out of time with one another. Tebe-tebe dancing and word games, such as nava-navarana taa (a game involving skill and memory to rephrase words into new meanings) are also played.

Photo: Orontafa performed at le masule.

Le masule adalah ritual untuk ‘membersihkan’ rumah adat, lee ia val, sebelum dapat ditinggali atau digunakan sebagai rumah adat.

Le masule melibatkan upacara panjang yang dapat berlangsung selama tiga hari tiga malam, sampai empat hari empat malam, bahkan dapat mencapai hingga seminggu lamanya. Lee ia valu adalah identitas yang sangat penting bagi masyarakat Fataluku, dan pembangunan rumah-rumah ini telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan melalui pendanaan dari pemerintah Timor. Pada masa sebelumnya, pemerintah Indonesia tidak menganjurkan keberadaan upacara-upacara le masule. Selain karena kesulitan untuk mendapatkan bahan bangunan, lantaran mereka yang hidup di desa tidak dapat memanen kayu hutan, sebagian masyarakat tidak memiliki kemampuan keuangan untuk mengadakan upacara yang begitu mahal. Bangunan lee ia val telah meningkat sejak masa kemerdekaan, termasuk juga upacara le masule. Bagian-bagian dari upacara meliputi vaihoho, orontafa, pengorbanan hewan, serta musik dan tarian. Kayu yang digunakan diukir dengan gambar binatang dan simbol identitas budaya masing-masing suku.

Upacara le masule melibatkan sejumlah tahapan yang dapat berlangsung selama tiga hari tiga malam, sampai empat hari empat malam, bahkan hingga seminggu lamanya. Upacara ini dimulai dengan berjalan dalam prosesi ke lee ia valu. Para tamu tiba dari daerah sekitar. Di Mauloho, Rasa, sebuah le masule upacara didokumentasikan. Para perempuan dari desa sekitar dan dari keluarga pemilik lee ia valu menggunakan tais seragam berwarna merah dan hitam, dengan atasan bunga-bunga berwarna biru, mereka memainkan rebana dan gong selama upacara berlangsung dengan ritme yang sederhana dan teratur. Beberapa perempuan menggunakan keranjang raisoko di punggunya, dengan tali yang dikenakan di atas kepala untuk memikul beban.

Langkah pertama dalam upacara adalah ritual menyeret kayu gelondongan. Laki-laki, baik tua maupun muda, berjejer di kedua sisi kayu dengan tali panjang yang melekat pada empat kayu gelondongan. Mereka menyeret kayu-kayu gelondongan menuju lee ia valu sembari menyanyikan vaihoho. Upacara dimulai dengan adat meminum tuak dan memakan sepotong hewan korban. Daging dan tuak lalu ditawarkan kepada para perempuan. Kemudian kepala adat mengumumkan dimulainya upacara, menyeru dengan penuh semangat dan membalas vaihoho. Ia kemudian meminta izin kepada kayu gelondongan untuk menjadi bagian dari lee ia valu, secara harafiah meminta kayu gelondongan agar menjadi cukup ringan untuk dipindahkan, dengan menyanyikan ‘jangan menjadi berat’. (Sebelum memotong kayu dari hutan, izin juga dimintakan oleh penebang, dan seekor binatang – biasanya ayam – dikorbankan.)

Laki-laki yang lebih tua berdiri di garis depan, mengenakan tais elegan dan kemeja putih. Pemuda yang berdiri di belakang, bertelanjang dada dan mengenakan kain hitam sepanjang lutut di pinggang mereka. Mereka tidak mengenakan tais panjang karena akan melakukan sebagian besar pekerjaan berat, sehingga membutuhkan lebih banyak keleluasaan untuk bergerak. Sementara para pengeret kayu akan terus membawa kayu gelondongan menuju rumah sembari menyanyikan vaihoho.

Setelah mencapai rumah, perempuan dengan tais seragam akan melingkari kayu dan memainkan irama. Para perempuan kemudian berpidnah mengelilingi rumah. Kepala adat memainkan keko untuk mengumumkan dimulainya upacara. Para tamu kemudian mulai berdatangan. Mereka disambut oleh para penampil perempuan.

Tetamu pada upacara le masule memiliki status atau hirarki sosial tersendiri: keluarga dekat (tupur moko), keluarga besar dan ipar (arahopata), serta teman atau rekan kerja (lan). Persembahan yang dibawa pun disesuaikan dengan status mereka. Tupur moko harus membawa kerbau, atau kuda, atau uang (berdasar urutan preferensi tersebut). Jika mereka membawa uang, jumlahnya harus setara dengan harga kerbau atau kuda. Tetamu arahopata adalah hubungan yang harus dihormati salah seorang responden menerangkan hubungan ini dihormati hampir seperti tuhan, sebab itu harus dipatuhi. Arahopata harus membawa babi dan kain tais. Ada sebuah ritual khusus dalam pertukaran hadian ini. Tuan rumah memfasilitasi proses tersebut.

Tenda-tenda didirikan untuk tetamu, dengan pengaturan berdasarkan status para tamu (misalnya tupur moko memiliki area tersendiri). Ketika pengaturan untuk tidur telah ditetapkan, tamu diberikan instruksi atau agenda upacara, yang disusun oleh tuan rumah.

Peresmian ditandai dengan ritual menuruni tangga menuju lee ia valu, yang dilakukan oleh keluarga arahopata (misalnya paman dari tuan rumah, atau tetua yang dihormati yang memiliki pertalian darah). Ketika tangga telah mencapai tanah, dan bendera bambu dipancangkan di depan lee ia valu, barulah rumah tersebut dapat dihuni. Keluarga dekat akan menaiki rumah menggunakan tangga, dan ritual akan dilakukan di dalam rumah. Perempuan dan laki-laki pemilik rumah akan mengenakan tais pada bahu mereka, lelaki mengenakan di bahu kanan, perempuan di bahu kiri. Tais ini adalah simbolisasi, untuk melindungi mereka dari unsur-unsur bahaya. Kemudian mereka akan minum tuak bersama, satu gelas akan diedarkan kepada seluruh peserta – minum dari gelas yang sama adalah cara untuk mengeratkan hubungan.

Usai peresmian, perayaan pun dimulai. Kelapa muda dikupas, dan airnya digunakan untuk memberkati orang-orang dan tempat tersebut. Sebuah tengkorak binatang, biasanya anjing, atau babi, dipersiapkan, bersama dengan kelapa dan persembahan-persembahan lainnya. Doa dirapal, dan persembahan diletakkan sepajang malam. Perempuan bermain musik dengan irama sederhana yang sama sepanjang malam. Seekor kerbau atau babi dikorbankan untuk dimakan. Ada aturan tentang siapa yang diperbolehkan untuk makan hewan yang dibawa sebagai persembahan – tetamu tupur moko tidak diperbolehkan untuk makan binatang yang mereka bawa sebagai persembahan, tetapi yang lain diperbolehkan (asalkan mereka tidak berstatus sebagai tupur moko).

Orontafa dimainkan, dengan panggilan penuh gairah dan respon pada nyanyian vaihoho. Pada titik-titik tertentu dalam nyanyian fataluku, alu diketukan secara serentak, sementara pada waktu lainnya dihentakan bergantian. Tarian tebe-tebe dan permainan kata seperti nava-navarana taa (permainan yang melibatkan keterampilan dan ingatan untuk membentuk ulang dan mencari makna baru dari kata-kata) juga dimainkan.

Can't find what you're looking for? Try viewing the site map.

Please share Many Hands International on your social networks
Receive occasional news & information
  
Your Email: